Posting 1 Jurnal 1
Urgensi Hukum Perikatan Islam dalam Penyelesaian
Sengketa Ekonomi Syariah
Oleh: Achmad Fauzi
Abstract
Artikel ini bertujuan untuk mengawasi gugatan hukum ekonomi syariah
melalui litigasi di pengadilan
dengan menganalisis kemampuan
hakim dalam gugatan ini. Masalah ini penting karena setiap kegiatan ekonomi syariah didasarkan pada apa kontrak (akad) mengandung. Artikel
analisis hukum keterlibatan
Indonesia berdasarkan hukum sipil atau Borgelijk
Wetboek (BW), hukum
konvensi didasarkan pada kompilasi
syariah ekonomi hukum,
pengadilan syariah otoritas, dan gugatan ekonomi
syariah langkah solusi
melalui litigasi. Ini
menyimpulkan bahwa seorang hakim harus
mampu menggali keadilan material, termasuk dalam
hukum perdata sehingga / nya keputusannya
bertujuan untuk reformasi dan penemuan hukum (rechtsvinding).
Sebagai yurisdiksi baru ke pengadilan syariah,
ekonomi syariah memiliki
gugatan masih instrumen
hukum beberapa yang
menyiratkan perlunya hakim
untuk mengawasi nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Perumusan keputusan
hukum ekonomi syariah tidak harus dipisahkan dari
hukum syariah keterlibatan.
Keywords: sharia economic, sharia law,
legal, civil law, jurisdiction.
1. Pendahuluan
Ada dua opsi yang ditempuh dalam
penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah, yakni melalui proses litigasi di pengadilan
atau non litigasi. Pengadilan Agama adalah lembaga kekuasaan kehakiman yang
memiliki kewenangan absolut untuk memeriksa dan mengadili sengketa ekonomi
syariah. Hal ini sesuai dengan asas personalitas keislaman dan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 49 huruf i Undang-Undang No. 3
tahun 2006 tentang Peradilan Agama dan Pasal 55 angka 1 Undang-Undang No. 21
tahun 2008 tentang Perbankan Syariah). Sedangkan jalur non litigasi meliputi
bentuk alternatif penyelesaian sengketa (Alternative Dispute Resolution)
dan arbitrase. Alternative Dispute Resolution (ADR) merupakan lembaga
penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur di luar pengadilan
dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli
(Pasal 1 angka 10 UU No.30 Tahun 1999). Sedangkan arbitrase harus dilakukan
melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) sebagai badan yang
berkompeten menegakkan hukum Islam.
Pemilihan model penyelesaian sengketa
melalui arbitrase harus memenuhi 2 (dua) syarat, yakni: pertama, secara
material bahwa yang akan diselesaikan lewat badan arbitrase hanyalah sengketa
yang berkenaan dengan bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum
dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang
bersengketa, dan bukan mengenai sengketa yang tidak dapat diadakan perdamaian; kedua,
secara formal bahwa klausula tersebut harus dinyatakan secara tertulis dalam
akad pada saat kedua belah pihak akan melakukan transaksi ekonomi syari’ah,
atau dibuat setelah timbul sengketa antara kedua pihak. Hal inilah yang disebut
dengan perjanjian arbitrase, yakni suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase
yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum
timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para
pihak setelah timbul sengketa (Pasal 1 angka 3 UU No.30 Tahun 1999 Tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa).
Tulisan ini difokuskan kepada
penyelesaian sengketa ekonomi syariah melalui jalur litigasi di pengadilan
dengan mengkaji dan menganalisa seberapa penting penguasaan hukum perikatan
Islam bagi hakim dalam memutuskan sengketa ekonomi syariah. Hal ini dianggap
perlu mengingat segala kegiatan ekonomi syariah terbentuk oleh adanya
kesepakatan para pihak untuk mengikatkan diri pada perjanjian, sehingga
penyelesaiannya dilakukan berdasarkan isi akad.
2. Hukum Perikatan dalam Borgelijk Wetboek
(BW)
Secara etimologi Undang-Undang tidak
menjelaskan apa yang dimaksud daripada perikatan. Begitu pula Code Civil
Perancis maupun Borgelijk Wetboek (BW) Belanda yang merupakan concodantie BW
kita. Secara etimologi perikatan (Verbintenis) berasal dari kata kerja
“verbinden” yang artinya mengikat (ikatan atau hubungan). Verbintenis bisa
disebut dengan istilah perikatan, perutangan, atau perjanjian. Perikatan bisa
diartikan juga setuju atau sepakat, dari arti kata overeenkomen.
Menurut terminologi, perikatan
merupakan suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara sejumlah
terbatas subyek hukum. Sehubungan dengan itu, seseorang atau beberapa orang
dari padanya (debitur atau para debitur) mengikatkan dirinya untuk bersikap
menurut cara-cara tertentu atas sesuatu prestasi terhadap pihak yang lain
(kreditur atau para kreditur). Jadi unsur-unsur perikatan meliputi hubungan
hukum, kekayaan, pihak-pihak dan prestasi.
Jika hukum benda memiliki suatu sistem
tertutup, maka hukum perikatan menganut sistem terbuka (Aanvullenrecht).
Artinya, para pihak boleh membuat aturan-aturan sendiri yang menyimpang dari
pasal-pasal perjanjian. Akan tetapi jika mereka tidak mengatur sendiri, berarti
mengenai perkara tersebut, mereka akan tunduk kepada undang-undang. Sistem
terbuka yang mengandung asas kebebasan berkontrak disimpulkan dari pasal 1338
KUHPerdata yang berbunyi “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya” (pacta sunt servanda).
Sistem terbuka juga mengandung pengertian bahwa perjanjian-perjanjian khusus
yang diatur dalam undang-undang hanyalah merupakan perjanjian yang paling
terkenal saja dalam masyarakat pada waktu KUHPerdata dibentuk.
3. Hukum Perjanjian dalam Kompilasi Hukum
Ekonomi Syariah (KHES)
Perjanjian dalam bahasa Arab lazim
disebut dengan akad. Dalam pasal 20 angka 1 KHES dirumuskan bahwa akad adalah
kesepakatan dalam suatu perjanjian antara dua pihak atau lebih untuk melakukan
atau tidak melakukan perbuatan hukum tertentu. Pada pasal 22 disebutkan rukun
akad terdiri atas; pihak yang melakukan akad, objek akad, tujuan pokok akad,
dan kesepakatan Rukun kedua dari akad adalah objek akad. Pasal 24 KHES menyebut
bahwa objek akad adalah amwal atau jasa yang dihalalkan dan dibutuhkan
oleh masing-masing pihak. Pengertian amwal pada pasal 1 angka 9 adalah
benda yang dapat dimiliki, dikuasai, diusahakan dan dialihkan, baik benda
berwujud maupun abstrak, baik benda terdaftar maupun tidak terdaftar, benda
bergerak atau tidak bergerak, dan hak yang mempunyai nilai ekonomis. Dalam
pengertian tersebut dapat dikemukakan macam perbedaan pengertian benda antara
lain;
1. Benda berwujud dan tidak berwujud
a. Benda berwujud adalah benda yang
dapat diindera (pasal 1 angka 10).
b. Benda tidak berwujud adalah segala
sesuatu yang tidak dapat diindera (pasal 1 angka 11).
2. Benda bergerak dan tidak bergerak
a. Benda bergerak adalah segala sesuatu yang
dapat dipindahkan dari suatu tempat ke tempat lain (pasal 1 angka 12).
b. Benda tidak bergerak adalah segala sesuatu
yang tidak dapat dipindahkan dari suatu tempat ke tempat lain yang menurut
sifatnya dietntukan oleh Undang-Undang (pasal 1 angka 13).
3. Benda terdaftar dan tidak terdaftar
a. Benda terdaftar adalah segala sesuatu yang
kepemilikannya ditentukan berdasarkan warkat yang dikeluarkan oleh pejabat
berwenang (pasal 1 angka14) .
b. Benda tidak terdaftar adalah segala sesuatu
yang kepemilikannya ditentukan berdasarkan alat bukti pertukaran atau
pengalihan di antara pihak-pihak (pasal 1 angka 15).
Rukun ketiga dari akad adalah tujuan pokok
akad. Ketentuan khusus tentang hal ini disebutkan pada pasal 25 KHES yang
menyatakan bahwa akad bertujuan memenuhi kebutuhan hidup dan pengembangan usaha
masing-masing pihak yang melakukan akad. Namun tidak semua tujuan dibenarkan
karena tujuan yang dibenarkan hanyalah untuk akad yang sah. Pasal 28 ayat (1)
menyatakan akad yang sah adalah akad yang terpenuhi rukun dan syaratnya. Akad
tidak sah apabila bertentangan dengan syariat Islam, peraturan
perundang-undangan, ketertiban umum, kesusilaan (pasal 26 KHES).
Pasal 27 dan 28 disebutkan bahwa hukum akad
terbagi dalam 3 kategori;
1. Akad yang sah adalah akad yang terpenuhi
rukun dan syaratnya;
2. Akad yang fasad adalah akad yang terpenuhi
rukun dan syaratnya namun terdapat hal lain yang merusak akad tersebut karena
pertimbangan maslahat;
3. Akad yang batal adalah akad yang kurang
syarat dan rukunnya.
Rukun akad yang keempat adalah kesepakatan.
Dalam KHES tidak ditemukan aturan tentang kesepakatannya sendiri, hanya diatur
cacatnya sebuah kesepakatan, yakni apabila dalam akad tersebut mengandung unsur
ghalat (khilaf), ikrah (paksaan), taghrir (tipuan), dan gubhn (penyamaran).
Berdasarkan hal ini ada 4 hal yang menyebabkan
cacatnya sebuah kesepakatan;
1. Ghalath atau khilaf
Pasal 30 menyatakan kekhilafan tidak
mengakibatkan batalnya suatu akad kecuali khilaf itu terjadi mengenai hakikat
yang menjadi pokok perjanjian;
2. Ikrah atau paksaan
Pasal 31 menyatakan paksaan mendorong
seseorang untuk melakukan sesuatu bukan berdasar pilihan bebasnya dan pasal 32
menyebutkan bahwa paksaan dapat menyebabkan batalnya akad apabila pemaksa mampu
untuk
melaksanakannya, pihak yang dipaksa memiliki
persangkaan yang kuat bahwa pemaksa akan segera melaksanakan apa yang
diancamkannya apabila tidak patuh pada perintah pemaksa, yang diancamkan
benar-benar menekan kondisi jiwa orang yang diancam, ancaman akan dilaksanakan
secara serta merta,
paksaan bersifat melawan hukum.
3. Taghrirat atau tipuan
Dalam pasal 33 KHES disebutkan bahwa penipuan
adalah pembentukan akad melalui tipu daya. Dengan dalih untuk kemaslahatan,
tetapi kenyataannya untuk memenuhi kepentingannya sendiri. Pasal 34 menyatakan
bahwa penipuan merupakan alasan pembatalan suatu akad.
4. Gubhn atau penyamaran
Pasal 35 KHES menegaskan penyamaran sebagai
keadaan yang tidak imbang antara prestasi dengan imbalan prestasi dalam suatu
akad. Abdul Kadir Muhammad menyatakan bahwa faktor yang memengaruhi berlakunya
perjanjian adalah karena kekeliruan, perbuatan curang, pengaruh tidak pantas,
dan ketidakcakapan dalam membuat perjanjian.
Hal penting lain yang perlu diperhatikan
adalah berkenaan dengan asas akad. Pasal 21 menyatakan bahwa akad dilakukan
berdasar 11 asas:
a. Sukarela/ikhtiyari (setiap akad dilakukan
berdasarkan kehendak para pihak dan bukan karena keterpaksan);
b. Menepati janji/amanah (setiap akad wajib
dilaksanakan oleh para pihak);
c. Kehati-hatian/ikhtiyati (setiap akad
dilakukan dengan pertimbangan yang matang);
d. Tidak berubah (setiap akad memiliki tujuan
yang jelas dan terhindar dari spekulasi);
e. Saling menguntungkan (setiap akad dilakukan
untuk memenuhi kepentingan para pihak sehingga terhindar dari manipulasi);
f. Kesetaraan/taswiyah (para pihak yang
melaksanakan akad memiliki kedudukan yang setara, memiliki hak dan kewajiban
yang simbang);
g. Transparansi (akad dilakukan dengan
pertanggungjawaban para pihak secara terbuka);
h. Kemampuan (akad dilakukan sesuai kemampuan
para pihak);
i. Kemudahan/taisir (akad memberi kemudahan
bagi masing-masing pihak untuk melaksanakannya);
j. Itikad baik (akad dilaksanakan dalam rangka
menegakkan kemaslahatan);
k. Sebab yang halal (akad tidak bertentangan
dengan hukum)
Nama : ANGGITA PRIHARTINI
NPM : 20211901
Kelas : 2EB08
Tidak ada komentar:
Posting Komentar