Posting 2 Jurnal 1
4. Kewenangan Absolut Pengadilan Agama
terhadap Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah
Pengadilan Agama memiliki kewenangan
mutlak untuk menyelesaikan perkara ekonomi syari’ah. Hal ini didasarkan atas
ketentuan Pasal 49 UU No.3 Tahun 2006 yang menyatakan bahwa: “Pengadilan
agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di
tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan,
waris, wasiat, hibah, waqaf, zakat, infaq, shadaqah,dan ekonomi syari’ah.”.
Sebelum diundangkannya UU No.3 Tahun 2006 tersebut memang belum pernah ada
peraturan perundang-undangan yang secara khusus melimpahkan kewenangan kepada
pengadilan tertentu untuk memeriksa dan mengadili perkara ekonomi syari’ah. Namun
demikian, meskipun Pengadilan Agama telah diberi kewenangan untuk memeriksa,
mengadili, dan menyelesaikan perkara ekonomi syari’ah, perangkat hukum materiil
maupun perangkat hukum formil perlu terus dibenahi. Lahirnya UU No. 21 tahun
2008 tentang Perbankan Syariah dan PERMA No. 02 tahun 2008 tentang Kompilasi
Hukum Ekonomi Syariah (KHES) tidak serta merta mencukupi kebutuhan hakim dalam
melakukan tugas-tugas barunya, sehingga perlu dilakukan terobosan hukum guna
memenuhi perkembangan kebutuhan hukum masyarakat. Terobosan tersebut adalah pertama:
dengan melakukan penafsiran argumentum per analogian (analogi), yakni
dengan memperluas berlakunya peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
kegiatan ekonomi pada umumnya terhadap kegiatan ekonomi syari’ah karena adanya
persamaan-persamaan antara keduanya; kedua: dengan menerapkan asas lex
posterior derogat legi apriori, yakni bahwa hukum yang baru mengalahkan
hukum yang lama.
Berdasarkan ketentuan Pasal 49 UU No.3 Tahun
2006 jis UU No.30 Tahun 1999 dan UU No.4 Tahun 1998, maka kewenangan Pengadilan
Agama dalam menangani perkara ekonomi syari’ah ini meliputi:
1. Menunjuk arbiter dalam hal para pihak tidak
dapat mencapai kesepakatan mengenai pemilihan arbiter atau tidak ada ketentuan
yang dibuat mengenai pengangkatan arbiter (Pasal 13-15 UU No.30 Tahun 1999);
2. Memutus hak ingkar yang diajukan oleh para
pihak atau salah satu dari mereka terhadap arbiter yang diangkat oleh Ketua
Pengadilan Agama (Pasal 22-25 UU No.30 Tahun 1999);
3. Mendaftar keputusan Basyarnas yang harus
didaftarakan dalam tempo 30 hari sejak putusan diucapkan (Pasal 59 UU No.30
Tahun 1999);
4. Melaksanakan keputusan badan alternatif
penyelesaian sengketa (ADR) dan keputusan Basyarnas melalui eksekusi paksa
manakala diperlukan (Pasal 59-63 UU No.30 Tahun 1999)
5. Menyatakan pailit debitur yang mempunyai
dua atau lebih kreditur dan tidak membeyar sedikitnya satu utang yang telah
jatuh waktu dan dapat ditagih (Pasal 1 ayat (1) UU No.4 Tahun 1998);
6. Memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
sengketa ekonomi syari’ah (Pasal 49 UU No.3 Tahun 2006).
5. Langkah Penyelesaian Sengketa Ekonomi
Syariah Melalui Litigasi
Proses penyelesaian perkara ekonomi
syari’ah melalui jalur litigasi dilakukan dengan terlebih dahulu memeriksa
apakah syarat administrasi perkara telah tercukupi atau belum. Administrasi
perkara ini meliputi berkas perkara yang di dalamnya telah ada panjar biaya
perkara, nomor perkara, penetapan majelis hakim, dan penunjukan panitera
sidang. Apabila syarat tersebut belum lengkap maka berkas dikembalikan ke
kepaniteraan untuk dilengkapi, apabila sudah lengkap maka hakim menetapkan hari
sidang dan memerintahkan kepada juru sita agar para pihak dipanggil untuk hadir
dalam sidang yang waktunya telah ditetapkan oleh hakim dalam surat Penetapan
Hari Sidang (PHS). Apabila syarat formil telah terpenuhi berarti hakim dapat
melanjutkan untuk memeriksa pokok perkara. Dalam persidangan ini, tugas pertama
dan utama hakim adalah berusaha mendamaikan kedua belah pihak sesuai dengan
PERMA Nomor 1 Tahun 2008 tentang mediasi. Apabila tercapai perdamaian, maka
hakim membuat akta perdamaian. Apabila tidak dapat dicapai perdamaian maka
pemeriksaan dilanjutkan ke tahap berikutnya. Hakim melakukan konstatiring
terhadap dalil-dalil gugat dan bantahannya melalui tahap-tahap pembacaan surat
gugatan, jawaban tergugat, replik, duplik, dan pembuktian. Dalam memeriksa dan
mengadili tingkat pertama sengketa ekonomi syariah, hukum perikatan Islam
memang memiliki kedudukan penting. Sebab, segala bentuk peristiwa hukum
mengenai kegiatan ekonomi syariah diawali dengan akad yang memuat hak dan
kewajiban masing-masing pihak untuk mengikatkan diri dalam suatu perjanjian.
Tanpa menguasai hukum perikatan Islam, mustahil hakim dapat memutus dan
menyelesaikan sengketa ekonomi syariah dengan benar dan adil. Ambil contoh
jenis-jenis kegiatan usaha Bank Umum Syariah yang di dalamnya tidak pernah
terlepas dari akad;
1. Bank Umum Syariah menghimpun dana dalam
bentuk simpanan berupa giro, tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan
dengan itu berdasarkan akad wadi’ah atau akad lain yang tidak
bertentangan dengan prinsip syariah;
2. Bank Umum Syariah menghimpun dana dalam
bentuk Investasi berupa deposito, tabungan, atau bentuk lainnya yang
dipersamakan dengan ituberdasarkan akad mudharabah atau akad lain yang
tidak bertentangan dengan prinsip syariah;
3. Bank Umum Syariah menyalurkan pembiayaan
bagi hasil berdasarkan akad mudharabah, akad musyarakah, atau
akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah;
4. Bank Umum Syariah menyalurkan pembiayaan
berdasarkan akad murabahah, akad salam, akad istishna’, atau
akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah;
5. Bank Umum Syariah menyalurkan pembiayaan
berdasarkan akad qardh atau akad lain yang tidak bertentangan dengan
prinsip syariah;
Ekonomi syariah dapat didefinisikan perbuatan
atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah6,
antara lain meliputi bank syariah, lembaga keuangan mikro syariah, asuransi
syariah, reasuransi syariah, reksadana syariah, obligasi syariah dan surat berharga
berjangka menengah syariah, sekuritas syariah, pembiayaan syariah, pegadaian
syariah, dana pensiun syariah, bisnis syariah dan lain-lain.
1. Bank syariah adalah lembaga keuangan yang
usaha pokoknya memberikan pembiayaan dan jasa-jasa lain dalam lalu lintas
pembayaran serta peredaran uang yang beroperasi disesuaikan dengan
prinsip-prinsip syariah. Menurut pasal 1 angka 7 Undang-Undang No.21 tahun 2008
tentang Perbankan Syariah, menerangkan bahwa Bank Syariah adalah Bank yang
menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah.
2. BMT sebagai lembaga pendukung kegiatan ekonomi
masyarakat kecil dengan berlandaskan syariah terdiri dari 2 istilah yakni baitul
maal dan baitut tamwil. Baitul maal lebih mengarah pada usaha
pengumpulan dan penyaluran dana nonprofit (ZIS). Baitut tamwil mengarah
pada usaha pengumpulan dan penyaluran dana komersial. Kegiatan utama
dari lembaga ini adalah menghimpun dana dan mendistribusikan kembali kepada
anggota dengan imbalan bagi hasil atau mark-up/margin (sesuai syariah). Prinsip
dan mekanismenya hampir sama dengan perbankan syariah hanya skala produk dan
jumlah pembiayaannya terbatas. Latar belakang lahirnya BMT karena adanya
kemiskinan massif, perbankan belum bisa akses ke masyarakat miskin, mayarakat
miskin mendapatkan sumber dana mahal, lembaga/badan usaha yang ada belum sesuai
dengan syariah, pemberdayaan masyarakat muslim melalui lembaga masjid, pembinaan
pengembangan usaha masyarakat.
3. Dalam bahasa Belanda, Asuransi biasa
disebut dengan istilah assurantie (asuransi) dan verzekering (pertanggungan).
Dalam bahasa Arab istilah asuransi biasa diungkapkan dengan kata at-tamin yang
secara bahasa berarti tuma’ninatun nafsi wa zawalul khauf, tenangnya
jiwa dan hilangnya rasanya takut. Maksudnya, orang yang ikut dalam kegiatan
asuransi, jiwanya akan tenang dan tidak ada rasa takut ataupun was-was dalam
menjalani kehidupan, karena ada pihak yang memberikan jaminan atau
pertanggungan.
4. Reksadana syariah adalah wadah yang
dipergunakan untuk menghimpun dana dari masyarakat pemodal untuk selanjutnya
diinvestasikan dalam portofolio efek (saham, obligasi, valuta asing, atau
deposito) oleh Manajer Investasi yang pengelolaan dan kebijakan investasinya
mengacu pada syariat Islam.
5. Obligasi syariah merupakan suatu surat
berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan emiten
kepada pemegang obligasi syariah yang mewajibkan emiten untuk membayar
pendapatan kepada pemegang obligasi syariah berupa bagi hasil/margin/fee, serta
membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo. Tentang obligasi syariah
diatur dalam bab XXIV pasal 604 sampai dengan 607 KHES. Di samping itu ada pula
obligasi syariah mudharabah yang diatur dalam bab XXI pasal 574 sampai dengan
579 KHES. Sumber hukum obligasi syariah dapat ditilik dalam Firman Allah Swt.,
dalam QS al-Maidah ayat 5.
6. Dana pensiun syariah
Sunduq mu’asyat taqa’udi atau dana pensiun
syariah adalah badan usaha yang mengelola dan menjalankan program yang
menjanjikan manfaat pension berdasar prinsip syariah (pasal 20 angka 39 KHES).
Hal ini diatur dalam bab XXIX Pasal 626 sampai dengan 673 KHES.
6. Penutup
Hakim pada prinsipnya tidak
semata-mata mencari dan menemukan kebenaran formil. Termasuk dalam perkara
keperdataan, hakim harus mampu menggali kebenaran materiil. Sehingga
putusan-putusan yang dihasilkan mengarah kepada pembaharuan penemuan hukum
(rechtsvinding) yang dibentuk berdasar metode penafsiran dan konstruksi hukum.
Sengketa ekonomi syariah adalah yurisdiksi baru bagi Peradilan Agama dengan
perangkat hukum yang belum sempurna, sehingga menuntut hakim untuk menggali
nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Perumusan putusan terhadap
sengketa ekonomi syariah tidak bisa dilepaskan dari wawasan hukum perikatan
Islam. Karena segala bentuk kegiatan usaha di bidang ekonomi syariah diawali
dengan perjanjian dengan konsekuensi para pihak mematuhi dan mengikatkan diri
terhadap isi perjanjian tersebut. Ini menjadi momentum yang baik bagi umat
Islam untuk mengimplementasikan nilai-nilai ajaran Islam menyangkut hukum perikatan
Islam. Ini penting mengingat sebelum terjadi amandemen UU No 7/1989, penegakkan
hukum kontrak bisnis di lembaga-lembaga keuangan syariah banyak mengacu pada ketentuan
KUH Perdata yang merupakan terjemahan dari Burgerlijk Wetboek (BW), Kitab
Undang-Undang Hukum Sipil Belanda yang dikonkordansi
keberlakuannya di tanah Jajahan Hindia Belanda
sejak tahun 1854, sehingga konsep perikatan Islam tidak berfungsi maksimal
dalam praktek formalitas hukum dimasyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Kadir Muhammad (1986), Hukum
Perjanjian. Bandung: Alumni.
Abdurrahman (2008), Beberapa Catatan
Sekitar Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah,
Dalam Buku Kenangan Berjudul Bagir Manan
Ilmuwan dan Penegak Hukum (Kenangan Sebuah Pengabdian). Jakarta: Mahkamah
Agung RI.
Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama
Indonesia (2001), Fatwa Dewan Syariah Nasional No: 21/DSN-MUI/X/2001 tentang
Pedoman Umum Asuransi Syariah. Jakarta.
Muhammad Muslehuddin (1999). Insurance and
Islamic Law, Penerj: Burhan Wirasubrata, Menggugat Asuransi Modern: mengajukan
suatu alternatif baru dalam perspektif hukum Islam. Jakarta : Lentera.
Muhamad Nadratuzzaman Hosen dan AM Hasan Ali
(2006), dalam makalahnya berjudul Kapita Selekta Asuransi Syariah: Telaah
Umum Tentang Asuransi Syariah di Indonesia. Disampaikan dalam acara Seminar
dan Lokakarya Mencari Format Ideal Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah
diselenggarakan oleh Tim Penyusun Kompilasi Ekonomi Syariah Mahkamah Agung RI
pada tanggal 20 November 2006 di Hotel Grand Alia Cikini.
Mustafa Ahmad Zarqa (1968), al-madkhal
al-fiqh al-‘am. Beirut: Dar al-Fikr.
Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 2008
tentang Mediasi. www.badilag.net
Peraturan Mahkamah Agung RI No. 02 Tahun 2008
tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah. www.badilag.net
Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah. www.badilag.net
Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. www.badilag.net
Nama :
ANGGITA PRIHARTINI
NPM :
20211901
Kelas :
2EB08
Tidak ada komentar:
Posting Komentar