Minggu, 05 Mei 2013

REVIEW JURNAL HUKUM PERIKATAN 2 " URGENSI HUKUM PERIKATAN ISLAM DALAM PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARIAH "


Posting 2 Jurnal 1
 
4. Kewenangan Absolut Pengadilan Agama terhadap Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah
Pengadilan Agama memiliki kewenangan mutlak untuk menyelesaikan perkara ekonomi syari’ah. Hal ini didasarkan atas ketentuan Pasal 49 UU No.3 Tahun 2006 yang menyatakan bahwa: “Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, waqaf, zakat, infaq, shadaqah,dan ekonomi syari’ah.”. Sebelum diundangkannya UU No.3 Tahun 2006 tersebut memang belum pernah ada peraturan perundang-undangan yang secara khusus melimpahkan kewenangan kepada pengadilan tertentu untuk memeriksa dan mengadili perkara ekonomi syari’ah. Namun demikian, meskipun Pengadilan Agama telah diberi kewenangan untuk memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan perkara ekonomi syari’ah, perangkat hukum materiil maupun perangkat hukum formil perlu terus dibenahi. Lahirnya UU No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dan PERMA No. 02 tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) tidak serta merta mencukupi kebutuhan hakim dalam melakukan tugas-tugas barunya, sehingga perlu dilakukan terobosan hukum guna memenuhi perkembangan kebutuhan hukum masyarakat. Terobosan tersebut adalah pertama: dengan melakukan penafsiran argumentum per analogian (analogi), yakni dengan memperluas berlakunya peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kegiatan ekonomi pada umumnya terhadap kegiatan ekonomi syari’ah karena adanya persamaan-persamaan antara keduanya; kedua: dengan menerapkan asas lex posterior derogat legi apriori, yakni bahwa hukum yang baru mengalahkan hukum yang lama.
Berdasarkan ketentuan Pasal 49 UU No.3 Tahun 2006 jis UU No.30 Tahun 1999 dan UU No.4 Tahun 1998, maka kewenangan Pengadilan Agama dalam menangani perkara ekonomi syari’ah ini meliputi:
1. Menunjuk arbiter dalam hal para pihak tidak dapat mencapai kesepakatan mengenai pemilihan arbiter atau tidak ada ketentuan yang dibuat mengenai pengangkatan arbiter (Pasal 13-15 UU No.30 Tahun 1999);
2. Memutus hak ingkar yang diajukan oleh para pihak atau salah satu dari mereka terhadap arbiter yang diangkat oleh Ketua Pengadilan Agama (Pasal 22-25 UU No.30 Tahun 1999);
3. Mendaftar keputusan Basyarnas yang harus didaftarakan dalam tempo 30 hari sejak putusan diucapkan (Pasal 59 UU No.30 Tahun 1999);
4. Melaksanakan keputusan badan alternatif penyelesaian sengketa (ADR) dan keputusan Basyarnas melalui eksekusi paksa manakala diperlukan (Pasal 59-63 UU No.30 Tahun 1999)
5. Menyatakan pailit debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membeyar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih (Pasal 1 ayat (1) UU No.4 Tahun 1998);
6. Memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah (Pasal 49 UU No.3 Tahun 2006).


5. Langkah Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Melalui Litigasi
Proses penyelesaian perkara ekonomi syari’ah melalui jalur litigasi dilakukan dengan terlebih dahulu memeriksa apakah syarat administrasi perkara telah tercukupi atau belum. Administrasi perkara ini meliputi berkas perkara yang di dalamnya telah ada panjar biaya perkara, nomor perkara, penetapan majelis hakim, dan penunjukan panitera sidang. Apabila syarat tersebut belum lengkap maka berkas dikembalikan ke kepaniteraan untuk dilengkapi, apabila sudah lengkap maka hakim menetapkan hari sidang dan memerintahkan kepada juru sita agar para pihak dipanggil untuk hadir dalam sidang yang waktunya telah ditetapkan oleh hakim dalam surat Penetapan Hari Sidang (PHS). Apabila syarat formil telah terpenuhi berarti hakim dapat melanjutkan untuk memeriksa pokok perkara. Dalam persidangan ini, tugas pertama dan utama hakim adalah berusaha mendamaikan kedua belah pihak sesuai dengan PERMA Nomor 1 Tahun 2008 tentang mediasi. Apabila tercapai perdamaian, maka hakim membuat akta perdamaian. Apabila tidak dapat dicapai perdamaian maka pemeriksaan dilanjutkan ke tahap berikutnya. Hakim melakukan konstatiring terhadap dalil-dalil gugat dan bantahannya melalui tahap-tahap pembacaan surat gugatan, jawaban tergugat, replik, duplik, dan pembuktian. Dalam memeriksa dan mengadili tingkat pertama sengketa ekonomi syariah, hukum perikatan Islam memang memiliki kedudukan penting. Sebab, segala bentuk peristiwa hukum mengenai kegiatan ekonomi syariah diawali dengan akad yang memuat hak dan kewajiban masing-masing pihak untuk mengikatkan diri dalam suatu perjanjian. Tanpa menguasai hukum perikatan Islam, mustahil hakim dapat memutus dan menyelesaikan sengketa ekonomi syariah dengan benar dan adil. Ambil contoh jenis-jenis kegiatan usaha Bank Umum Syariah yang di dalamnya tidak pernah terlepas dari akad;
1. Bank Umum Syariah menghimpun dana dalam bentuk simpanan berupa giro, tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan akad wadi’ah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah;
2. Bank Umum Syariah menghimpun dana dalam bentuk Investasi berupa deposito, tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan ituberdasarkan akad mudharabah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah;
3. Bank Umum Syariah menyalurkan pembiayaan bagi hasil berdasarkan akad mudharabah, akad musyarakah, atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah;
4. Bank Umum Syariah menyalurkan pembiayaan berdasarkan akad murabahah, akad salam, akad istishna’, atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah;
5. Bank Umum Syariah menyalurkan pembiayaan berdasarkan akad qardh atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah;
Ekonomi syariah dapat didefinisikan perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah6, antara lain meliputi bank syariah, lembaga keuangan mikro syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah, reksadana syariah, obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah, sekuritas syariah, pembiayaan syariah, pegadaian syariah, dana pensiun syariah, bisnis syariah dan lain-lain.
1. Bank syariah adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan pembiayaan dan jasa-jasa lain dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang beroperasi disesuaikan dengan prinsip-prinsip syariah. Menurut pasal 1 angka 7 Undang-Undang No.21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, menerangkan bahwa Bank Syariah adalah Bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah.
2. BMT sebagai lembaga pendukung kegiatan ekonomi masyarakat kecil dengan berlandaskan syariah terdiri dari 2 istilah yakni baitul maal dan baitut tamwil. Baitul maal lebih mengarah pada usaha pengumpulan dan penyaluran dana nonprofit (ZIS). Baitut tamwil mengarah pada usaha pengumpulan dan penyaluran dana komersial. Kegiatan utama dari lembaga ini adalah menghimpun dana dan mendistribusikan kembali kepada anggota dengan imbalan bagi hasil atau mark-up/margin (sesuai syariah). Prinsip dan mekanismenya hampir sama dengan perbankan syariah hanya skala produk dan jumlah pembiayaannya terbatas. Latar belakang lahirnya BMT karena adanya kemiskinan massif, perbankan belum bisa akses ke masyarakat miskin, mayarakat miskin mendapatkan sumber dana mahal, lembaga/badan usaha yang ada belum sesuai dengan syariah, pemberdayaan masyarakat muslim melalui lembaga masjid, pembinaan pengembangan usaha masyarakat.
3. Dalam bahasa Belanda, Asuransi biasa disebut dengan istilah assurantie (asuransi) dan verzekering (pertanggungan). Dalam bahasa Arab istilah asuransi biasa diungkapkan dengan kata at-tamin yang secara bahasa berarti tuma’ninatun nafsi wa zawalul khauf, tenangnya jiwa dan hilangnya rasanya takut. Maksudnya, orang yang ikut dalam kegiatan asuransi, jiwanya akan tenang dan tidak ada rasa takut ataupun was-was dalam menjalani kehidupan, karena ada pihak yang memberikan jaminan atau pertanggungan.
4. Reksadana syariah adalah wadah yang dipergunakan untuk menghimpun dana dari masyarakat pemodal untuk selanjutnya diinvestasikan dalam portofolio efek (saham, obligasi, valuta asing, atau deposito) oleh Manajer Investasi yang pengelolaan dan kebijakan investasinya mengacu pada syariat Islam.
5. Obligasi syariah merupakan suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan emiten kepada pemegang obligasi syariah yang mewajibkan emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariah berupa bagi hasil/margin/fee, serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo. Tentang obligasi syariah diatur dalam bab XXIV pasal 604 sampai dengan 607 KHES. Di samping itu ada pula obligasi syariah mudharabah yang diatur dalam bab XXI pasal 574 sampai dengan 579 KHES. Sumber hukum obligasi syariah dapat ditilik dalam Firman Allah Swt., dalam QS al-Maidah ayat 5.
6. Dana pensiun syariah
Sunduq mu’asyat taqa’udi atau dana pensiun syariah adalah badan usaha yang mengelola dan menjalankan program yang menjanjikan manfaat pension berdasar prinsip syariah (pasal 20 angka 39 KHES). Hal ini diatur dalam bab XXIX Pasal 626 sampai dengan 673 KHES.
6. Penutup
Hakim pada prinsipnya tidak semata-mata mencari dan menemukan kebenaran formil. Termasuk dalam perkara keperdataan, hakim harus mampu menggali kebenaran materiil. Sehingga putusan-putusan yang dihasilkan mengarah kepada pembaharuan penemuan hukum (rechtsvinding) yang dibentuk berdasar metode penafsiran dan konstruksi hukum. Sengketa ekonomi syariah adalah yurisdiksi baru bagi Peradilan Agama dengan perangkat hukum yang belum sempurna, sehingga menuntut hakim untuk menggali nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Perumusan putusan terhadap sengketa ekonomi syariah tidak bisa dilepaskan dari wawasan hukum perikatan Islam. Karena segala bentuk kegiatan usaha di bidang ekonomi syariah diawali dengan perjanjian dengan konsekuensi para pihak mematuhi dan mengikatkan diri terhadap isi perjanjian tersebut. Ini menjadi momentum yang baik bagi umat Islam untuk mengimplementasikan nilai-nilai ajaran Islam menyangkut hukum perikatan Islam. Ini penting mengingat sebelum terjadi amandemen UU No 7/1989, penegakkan hukum kontrak bisnis di lembaga-lembaga keuangan syariah banyak mengacu pada ketentuan KUH Perdata yang merupakan terjemahan dari Burgerlijk Wetboek (BW), Kitab Undang-Undang Hukum Sipil Belanda yang dikonkordansi
keberlakuannya di tanah Jajahan Hindia Belanda sejak tahun 1854, sehingga konsep perikatan Islam tidak berfungsi maksimal dalam praktek formalitas hukum dimasyarakat.

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Kadir Muhammad (1986), Hukum Perjanjian. Bandung: Alumni.
Abdurrahman (2008), Beberapa Catatan Sekitar Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah,
Dalam Buku Kenangan Berjudul Bagir Manan Ilmuwan dan Penegak Hukum (Kenangan Sebuah Pengabdian). Jakarta: Mahkamah Agung RI.
Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (2001), Fatwa Dewan Syariah Nasional No: 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah. Jakarta.
Muhammad Muslehuddin (1999). Insurance and Islamic Law, Penerj: Burhan Wirasubrata, Menggugat Asuransi Modern: mengajukan suatu alternatif baru dalam perspektif hukum Islam. Jakarta : Lentera.
Muhamad Nadratuzzaman Hosen dan AM Hasan Ali (2006), dalam makalahnya berjudul Kapita Selekta Asuransi Syariah: Telaah Umum Tentang Asuransi Syariah di Indonesia. Disampaikan dalam acara Seminar dan Lokakarya Mencari Format Ideal Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah diselenggarakan oleh Tim Penyusun Kompilasi Ekonomi Syariah Mahkamah Agung RI pada tanggal 20 November 2006 di Hotel Grand Alia Cikini.
Mustafa Ahmad Zarqa (1968), al-madkhal al-fiqh al-‘am. Beirut: Dar al-Fikr.
Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 2008 tentang Mediasi. www.badilag.net
Peraturan Mahkamah Agung RI No. 02 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah. www.badilag.net
Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. www.badilag.net
Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. www.badilag.net

Nama    : ANGGITA PRIHARTINI
NPM    : 20211901
Kelas     : 2EB08

Tidak ada komentar:

Posting Komentar