Minggu, 05 Mei 2013

REVIEW JURNAL HUKUM PERIKATAN 2 " ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DAN PENYALAHGUNAAN KEADAAN PADA KONTRAK JASA KONSTRUKSI "


2. TINJAUAN PUSTAKA DAN PEMBAHASAN
2.1. Kontrak
Kontrak pada dasarnya merupakan undang-undang yang mengikat dan memiliki konsekuensi hukum bagi para pihak. Oleh karenanya pembahasan berikutnya lebih tepat dengan istilah hukum kontrak (Michael D. Bayles, 1987 dan Lawrence M. Friedman, 2001). Friedman (2001) mengartikan hukum kontrak sebagai :
“ Perangkat hukum yang mengatur aspek tertentu dari pasar dan mengatur jenis perjanjian tertentu”
Dari pendapat dan definisi hukum kontrak di atas, maka definisi hukum kontrak adalah sebagai berikut :
“ Keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum “
Dengan demikian, maka unsur-unsur yang tercantum dalam hukum kontrak adalah sebagai berikut :
1. Adanya Kaidah Hukum
Kaidah dalam hukum kontrak dibagi menjadi 2 (dua) bagian : tertulis dan tidak tertulis. Kontrak hukum kontrak tertulis adalah kontrak kaidah-kaidah hukum yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan, traktat, dan yurisprudensi. Sedangkan kaidah hukum kontrak tidak tertulis adalah kaidah-kaidah hukum yang timbul, tumbuh, dan hidup dalam mesyarakat (konsep yang berasal dari hukum adat).
2. Adanya Subjek Hukum
Subjek hukum dalam istilah lain adalah rechtsperson, yang diartikan sebagai pendukung hak dan kewajiban. Yang menjadi subjek hukum dalam hukum kontrak adalah kreditur dan debitur. Kreditur adalah orang yang berpiutang, sedangkan debitur adalah orang yang berutang.
3. Adanya Prestasi ( Objek Hukum )
Prestasi merupakan hak kreditur dan menjadi kewajiban bagi debitur. Prestasi menurut Pasal 1234 KUH Perdata terdiri dari 4 (empat) hal :
a. memberikan sesuatu
b. berbuat sesuatu, dan
c. tidak berbuat sesuatu
4. Kata Sepakat
Di dalam Pasal 1320 KUH Perdata ditentukan 4 (empat) syarat sahnya suatu perjanjian. Salah satunya adalah kata sepakat (konsensus). Kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara para pihak.
5. Akibat Hukum
Setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak, akan menimbulkan akibat hukum. Akibat hukum adalah timbulnya hak dan kewajiban. Hak adalah suatu kenikmatan dan kewajiban adalah suatu beban.
2.2. Asas Kebebasan Berkontrak (Contractvrijheid Beginselen)
Asas-asas perjanjian sangat perlu untuk dikaji lebih dahulu sebelum memahami berbagai ketentuan undang-undang mengenai sahnya suatu perjanjian. Suatu perkembangan yang terjadi terhadap suatu ketentuan undang-undang akan lebih mudah dipahami setelah mengetahui asas-asas yang bersangkutan. Terdapat 5 (lima) asas penting dalam suatu perjanjian, yaitu :
1. Asas Kebebasan Berkontrak, sebagaimana hasil analisis Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi : “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang- undang bagi mereka yang membuatnya”. Asas Kebebasan Berkontrak ini memberikan kebebasan kepada para pihak untuk :
a. membuat atau tidak membuat perjanjian
b. mengadakan perjanjian dengan siapapun
c. menentukan isi perjanjian dengan siapapun
d. menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.
2. Asas Konsensualisme, sebagaimana dalam Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata. Dalam pasal ini ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian, yaitu adanya kesepakatan kedua belah pihak. Asas konsensualisme pada umumnya tidak diadakan secara formal, tetapi cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak.
3. Asas Pacta Sunt Servanda, merupakan asas kepastian hukum sebagai akibat perjanjian.
Asas ini dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi :
“Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang” Selain itu pada asas ini juga dikatakan bahwa pihak lain (hakim atau pihak ketiga) harus menghormati dan tidak boleh mengintervensi substansi kontrak yang dibuat para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang.
4. Asas Itikat Baik (Goede Trouw)
Asas ini dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang berbunyi :
“Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikat baik”. Asas itikat baik ini merupakan asas para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau kemauan yang baik dari para pihak. Asas itikat baik ini dibagi 2 (dua) : itikat baik nisbi, dimana orang memperhatikan tingkah laku nyata orang atau subjek. Sedangkan itikat baik mutlak, penilaiannnya terletak pada akal sehat dan keadilan, dan penilaian keadaan yang dibuat dengan ukuran objektif (penilaian yang tidak memihak) menurut norma-norma yang objektif.
5. Asas Kepribadian (Personalitas)
Asas ini merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang akan melakukan dan atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja, sebagaimana dalam Pasal 1315 KUH Perdata yang berbunyi : “Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri”, dan Pasal 1340 KUH Perdata yang menyatakan bahwa : “Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya”. Namun ketentuan ini ada pengecualiannya sebagaimana yang diintrodusir dalam Pasal 1317 KUH Perdata, yang menyatakan : “Dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu”. Pasal ini mengkonstruksikan bahwa seseorang dapat mengadakan perjanjian untuk kepentingan pihak ketiga. Sedangkan dalam Pasal 1318 KUH Perdata, tidak hanya mengatur perjanjian untuk diri sendiri, tetapi juga untuk kepentingan ahli warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh hak dari padanya.
2.3. Penyalahgunaan Keadaan (Misbruik van Omstandigheden)
Terbentuknya aliran Penyalahgunaan Keadaan disebabkan karena pada waktu itu belum ada ketentuan Burgerlijk Wetboek Belanda yang mengatur hal itu. Sebagai contoh, sering terjadi seorang hakim sering menemukan adanya keadaan yang bertentangan dengan kebiasaan, sehingga sering pula mengakibatkan putusan hakim yang membatalkan suatu perjanjian, baik sebagian atau keseluruhan. Dalam kenyataannya putusan hakim tersebut tidaklah berdasarkan pertimbangan salah satu alasan pembatalan perjanjian yaitu cacat kehendak klasik (Pasal 1321 KUH Perdata), yaitu : (1) kesesatan (dwaling), (2) paksaan (dwang), (3) penipuan (berdog). Prof. Mr. J.M. van Dunné dan Prof. Mr. Gr. Van den Burght (1987) dalam sebuah Diktat Kursus Hukum Perikatan Bagian III yang diterjemahkan Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, SH., menanggapi beberapa pendapat para ahli hukum menyatakan bahwa :
“ Pada Penyalahgunaan Keadaan tidaklah semata-mata berhubungan dengan isi perjanjian, tetapi berhubungan dengan apa yang telah terjadi pada saat lahirnya perjanjian, yaitu penyalahgunaan keadaan yang menyebabkan pernyataan kehendak dan dengan sendirinya persetujuan satu pihak tanpa cacat”
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa penyalahgunaan keadaan lebih tepat mempengaruhi syarat-syarat subjektif dari pada syarat objektif. Sebagaimana diketahui bahwa menurut Pasal 1320 KUH Perdata, untuk sahnya suatu perjanjian harus memenuhi 4 (empat) syarat :
1). Harus ada kesepakatan
2). Harus ada kecakapan
3). Harus ada pokok persoalan (hal tertentu)
4). Tidak merupakan sebab yang dilarang
Dua syarat pertama merupakan syarat subjektif karena menyangkut subjek yang mengadakan perjanjian, sedang dua syarat terakhir merupakan syarat objektif.
Lebih lanjut Van Dunné menjelaskan bahwa selain 2 (dua) syarat subjektif tersebut di atas, penyalahgunaan keadaan juga dikarenakan 2 (dua) hal :
1. Karena keunggulan ekonomi, yang menyebabkan salah satu pihak terpaksa mengadakan perjanjian.
2. Karena keunggulan kejiwaan, salah satu pihak menyalahgunakan ketergantungan relatif (seperti hubungan kepercayaan : orang tua – anak, suami – istri, dokter – pasien, termasuk antara pengguna jasa / pimpinan proyek / bagian proyek / user – penyedia jasa / konsultan / kontraktor, dan sebagainya ). Disamping salah satu pihak menggunakan penyalahgunaan keadaan jiwa yang istimewa dari pihak lawan (gangguan jiwa, tidak berpengalaman, gegabah, kurang pengetahuan, kondisi badan yang kurang baik, dan sebagainya).
2.4. Jasa Konstruksi
Segala sesuatu yang berkaitan dengan jasa konstruksi telah diatur dalam UU Nomor 18 Tahun 1999 beserta PP Nomor 28, 29, dan 30 Tahun 2000 serta peraturan perundang-undangan lain yang berkaitan. Sebagaimana diketahui bahwa UU Nomor 18 Tahun 1999 ini menganut asas kejujuran dan keadilan, asas manfaat, asas keserasian, asas keseimbangan, asas keterbukaan, asas kemitraan, keamanan dan keselamatan demi kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara (Pasal 2 UU Nomor 18 Tahun 1999). Sedangkan pengaturan jasa konstruksi bertujuan untuk :
1). Memberikan arah pertumbuhan dan perkembangan jasa konstruksi untuk mewujudkan struktur usaha yang kokoh, andal, berdaya saing tinggi, dan hasil pekerjaan konstruksi yang berkualitas.
2). Mewujudkan tertib penyelenggaraan pekerjaan konstruksi yang menjamin kesetaraan kedudukan antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam hak dan kewajiban, serta meningkatkan kepatuhan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
3). Mewujudkan peningkatan peran masyarakat di bidang jasa konstruksi.
Bagi profesional teknik, yang perlu menjadi perhatian adalah beberapa bagian yang
sangat terkait dengan pekerjaan profesinya, antara lain :
1.    Jenis Usaha Jasa Konstruksi
2.    Bidang Usaha Jasa Konstruksi
Bidang usaha jasa konstruksi mencakup pekerjaan :
(a) Arsitektural dan/ atau
(b) Sipil dan/atau
(c) Mekanikal dan/atau
(d) Elektrikal dan/atau
(e) Tata Lingkungan masing-masing beserta kelengkapannya Dalam melaksanakan
pekerjaan profesinya
3.    Tanggung Jawab Profesional
4.    Tanggung Jawab Profesional secara Perdata dan Pidana

3. KESIMPULAN DAN SARAN
3.1. Kesimpulan
1. Dalam pelaksanaan perjanjian jasa konstruksi khususnya pada tahapan precontractual, masing-masing pihak (pengguna dan penyedia jasa konstruksi) harus mengadakan kesepakatan dengan menghindari pelanggaran terhadap ketentuan asas kebebasan berkontrak (contractvrijheid) dan penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden) sebagaimana ketentuan yang berlaku.
2. Sanksi bagi pengguna jasa dan penyedia jasa dapat dikenai sanksi administratif, sanksi perdata, maupun sanksi pidana apabila melakukan pelanggaran sesuai ketentuan UU Nomor 18 Tahun 1999 dan PP Nomor 29 Tahun 2000
3. Penyelesaian sengketa jasa konstruksi sebagai akibat pelanggaran dan sanksi yang diberlakukan belum dibahas dalam tulisan ini.
3.2. Saran
1. Walaupun sudah disosialisasi dan diberlakukan, UU Nomor 18 Tahun 1999, PP Nomor 28, 29, 30 serta peraturan perundang-undangan lainnya masih belum banyak yang mengetahui khususnya masyarakat jasa konstruksi sendiri. Untuk itu perlu kesungguhan baik Pemerintah, Asosiasi Profesi, Profesional Perorangan, Pakar dan Perguruan Tinggi dan pihak-pihak yang terkait bekerja sama untuk meningkatkan intensitas pemahaman peraturan perundang-undang ini, sehingga dicapai peningkatana kualitas SDM yang profesional.
2. Untuk menjamin ketertiban dan kepastian hukum dalam masyarakat, perlu diterapkan sanksi yang tegas dalam action karena dalam proyek konstruksi banyak dijumpai peluang pelanggaran mulai dari precontrancual dan postcontractual hingga pelaksanaan fisik pekerjaan konstruksi.
3. Penyelesaian sengketa jasa konstruksi perlu dibahas juga sebagai alternatif penyelesaian sengketa kasus-kasus konstruksi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku-buku
Badrulzaman, Mariam Darus, 1993, KUH Perdata, Buku III, Hukum Perikatan dengan Penjelasannya, Penerbit Alumni, Bandung.
Bayles, Michael D., 1987, Principles of Law A Normatif Analysis, Holland : Riding Publishing Company Dordrecht. Dunné, Van dan Van der Burght, 1987, Hukum Perjanjian (terjemahan Lely Niwan), Dewan Kerjasama Ilmu Hukum Belanda dengan Indonesia Proyek hukum Perdata, Jogjakarta.
Friedman, Lawrence M (2001), American Law An Introduction (terjemahan Whisnu Basuki),
Penerbit Tata Nusa, Jakarta. Mertokusumo, Sudikno, 1988, Mengenal Hukum, Penerbit Liberty, Yogyakarta.
Panggabean, H.P., 2001, Penyalahgunaan Keadaan (Misbruik van Omstandigheden) Sebagai
Alasan (Baru) untuk Pembatalan Perjanjian (Berbagai Perkembangan Hukum di Negeri Belanda), Cetakan Pertama, Penerbit Liberty, Jogjakarta.
Poerdyatmono, B., 2003, Sengketa Pelaksanaan Kontrak Kerja Konsultan Pengawas Konstruksi, Skripsi S-1 Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sunan Giri Surabaya (tidak dipublikasikan).
Salim, H.S., 2004, Hukum Kontrak : Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Cetakan Kedua,
Penerbit Sinar Grafika, Jakarta.
Suharnoko, 2004, Hukum Perjanjian : Teori dan Analisa Kasus, Cetakan Pertama, Penerbit
Predana Media, Jakarta.
Wijaya, G. dan Mulyadi, K., 2003, Hapusnya Perikatan, Edisi I, Cetakan I, Penerbit PT
RajaGrafindo Persada, Jakarta.
2. Landasan Hukum
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2000 tentang Usaha dan Peran
Masyarakat Jasa Konstruksi
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan
Jasa Konstruksi
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan
Pembinaan Jasa Konstruksi
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan
Pengadaan Barang / Jasa Pemerintah
Subekti dan Tjitrosudibio (1999), Kitab Undang-undang Hukum Perdata (terjemahan dari
Burgerlijk Wetboek), Cetakan ketigapuluh, Penerbit Pradnya Paramita, Jakarta.
RIWAYAT PENULIS
Ir. Bambang Poerdyatmono, S.H.,M.T., adalah Dosen Jurusan Teknik Sipil Fakultas
Teknik Universitas Madura – Pamekasan, kini sedang menyelesaikan studi S-2 Magister Ilmu Hukum di Unisma - Malang

Nama    : ANGGITA PRIHARTINI
NPM     : 20211901
Kelas     : 2EB08
Sumber  : www.kppu.go.id

REVIEW JURNAL HUKUM PERIKATAN 2 " URGENSI HUKUM PERIKATAN ISLAM DALAM PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARIAH "


Posting 2 Jurnal 1
 
4. Kewenangan Absolut Pengadilan Agama terhadap Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah
Pengadilan Agama memiliki kewenangan mutlak untuk menyelesaikan perkara ekonomi syari’ah. Hal ini didasarkan atas ketentuan Pasal 49 UU No.3 Tahun 2006 yang menyatakan bahwa: “Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, waqaf, zakat, infaq, shadaqah,dan ekonomi syari’ah.”. Sebelum diundangkannya UU No.3 Tahun 2006 tersebut memang belum pernah ada peraturan perundang-undangan yang secara khusus melimpahkan kewenangan kepada pengadilan tertentu untuk memeriksa dan mengadili perkara ekonomi syari’ah. Namun demikian, meskipun Pengadilan Agama telah diberi kewenangan untuk memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan perkara ekonomi syari’ah, perangkat hukum materiil maupun perangkat hukum formil perlu terus dibenahi. Lahirnya UU No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dan PERMA No. 02 tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) tidak serta merta mencukupi kebutuhan hakim dalam melakukan tugas-tugas barunya, sehingga perlu dilakukan terobosan hukum guna memenuhi perkembangan kebutuhan hukum masyarakat. Terobosan tersebut adalah pertama: dengan melakukan penafsiran argumentum per analogian (analogi), yakni dengan memperluas berlakunya peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kegiatan ekonomi pada umumnya terhadap kegiatan ekonomi syari’ah karena adanya persamaan-persamaan antara keduanya; kedua: dengan menerapkan asas lex posterior derogat legi apriori, yakni bahwa hukum yang baru mengalahkan hukum yang lama.
Berdasarkan ketentuan Pasal 49 UU No.3 Tahun 2006 jis UU No.30 Tahun 1999 dan UU No.4 Tahun 1998, maka kewenangan Pengadilan Agama dalam menangani perkara ekonomi syari’ah ini meliputi:
1. Menunjuk arbiter dalam hal para pihak tidak dapat mencapai kesepakatan mengenai pemilihan arbiter atau tidak ada ketentuan yang dibuat mengenai pengangkatan arbiter (Pasal 13-15 UU No.30 Tahun 1999);
2. Memutus hak ingkar yang diajukan oleh para pihak atau salah satu dari mereka terhadap arbiter yang diangkat oleh Ketua Pengadilan Agama (Pasal 22-25 UU No.30 Tahun 1999);
3. Mendaftar keputusan Basyarnas yang harus didaftarakan dalam tempo 30 hari sejak putusan diucapkan (Pasal 59 UU No.30 Tahun 1999);
4. Melaksanakan keputusan badan alternatif penyelesaian sengketa (ADR) dan keputusan Basyarnas melalui eksekusi paksa manakala diperlukan (Pasal 59-63 UU No.30 Tahun 1999)
5. Menyatakan pailit debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membeyar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih (Pasal 1 ayat (1) UU No.4 Tahun 1998);
6. Memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah (Pasal 49 UU No.3 Tahun 2006).


5. Langkah Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Melalui Litigasi
Proses penyelesaian perkara ekonomi syari’ah melalui jalur litigasi dilakukan dengan terlebih dahulu memeriksa apakah syarat administrasi perkara telah tercukupi atau belum. Administrasi perkara ini meliputi berkas perkara yang di dalamnya telah ada panjar biaya perkara, nomor perkara, penetapan majelis hakim, dan penunjukan panitera sidang. Apabila syarat tersebut belum lengkap maka berkas dikembalikan ke kepaniteraan untuk dilengkapi, apabila sudah lengkap maka hakim menetapkan hari sidang dan memerintahkan kepada juru sita agar para pihak dipanggil untuk hadir dalam sidang yang waktunya telah ditetapkan oleh hakim dalam surat Penetapan Hari Sidang (PHS). Apabila syarat formil telah terpenuhi berarti hakim dapat melanjutkan untuk memeriksa pokok perkara. Dalam persidangan ini, tugas pertama dan utama hakim adalah berusaha mendamaikan kedua belah pihak sesuai dengan PERMA Nomor 1 Tahun 2008 tentang mediasi. Apabila tercapai perdamaian, maka hakim membuat akta perdamaian. Apabila tidak dapat dicapai perdamaian maka pemeriksaan dilanjutkan ke tahap berikutnya. Hakim melakukan konstatiring terhadap dalil-dalil gugat dan bantahannya melalui tahap-tahap pembacaan surat gugatan, jawaban tergugat, replik, duplik, dan pembuktian. Dalam memeriksa dan mengadili tingkat pertama sengketa ekonomi syariah, hukum perikatan Islam memang memiliki kedudukan penting. Sebab, segala bentuk peristiwa hukum mengenai kegiatan ekonomi syariah diawali dengan akad yang memuat hak dan kewajiban masing-masing pihak untuk mengikatkan diri dalam suatu perjanjian. Tanpa menguasai hukum perikatan Islam, mustahil hakim dapat memutus dan menyelesaikan sengketa ekonomi syariah dengan benar dan adil. Ambil contoh jenis-jenis kegiatan usaha Bank Umum Syariah yang di dalamnya tidak pernah terlepas dari akad;
1. Bank Umum Syariah menghimpun dana dalam bentuk simpanan berupa giro, tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan akad wadi’ah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah;
2. Bank Umum Syariah menghimpun dana dalam bentuk Investasi berupa deposito, tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan ituberdasarkan akad mudharabah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah;
3. Bank Umum Syariah menyalurkan pembiayaan bagi hasil berdasarkan akad mudharabah, akad musyarakah, atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah;
4. Bank Umum Syariah menyalurkan pembiayaan berdasarkan akad murabahah, akad salam, akad istishna’, atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah;
5. Bank Umum Syariah menyalurkan pembiayaan berdasarkan akad qardh atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah;
Ekonomi syariah dapat didefinisikan perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah6, antara lain meliputi bank syariah, lembaga keuangan mikro syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah, reksadana syariah, obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah, sekuritas syariah, pembiayaan syariah, pegadaian syariah, dana pensiun syariah, bisnis syariah dan lain-lain.
1. Bank syariah adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan pembiayaan dan jasa-jasa lain dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang beroperasi disesuaikan dengan prinsip-prinsip syariah. Menurut pasal 1 angka 7 Undang-Undang No.21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, menerangkan bahwa Bank Syariah adalah Bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah.
2. BMT sebagai lembaga pendukung kegiatan ekonomi masyarakat kecil dengan berlandaskan syariah terdiri dari 2 istilah yakni baitul maal dan baitut tamwil. Baitul maal lebih mengarah pada usaha pengumpulan dan penyaluran dana nonprofit (ZIS). Baitut tamwil mengarah pada usaha pengumpulan dan penyaluran dana komersial. Kegiatan utama dari lembaga ini adalah menghimpun dana dan mendistribusikan kembali kepada anggota dengan imbalan bagi hasil atau mark-up/margin (sesuai syariah). Prinsip dan mekanismenya hampir sama dengan perbankan syariah hanya skala produk dan jumlah pembiayaannya terbatas. Latar belakang lahirnya BMT karena adanya kemiskinan massif, perbankan belum bisa akses ke masyarakat miskin, mayarakat miskin mendapatkan sumber dana mahal, lembaga/badan usaha yang ada belum sesuai dengan syariah, pemberdayaan masyarakat muslim melalui lembaga masjid, pembinaan pengembangan usaha masyarakat.
3. Dalam bahasa Belanda, Asuransi biasa disebut dengan istilah assurantie (asuransi) dan verzekering (pertanggungan). Dalam bahasa Arab istilah asuransi biasa diungkapkan dengan kata at-tamin yang secara bahasa berarti tuma’ninatun nafsi wa zawalul khauf, tenangnya jiwa dan hilangnya rasanya takut. Maksudnya, orang yang ikut dalam kegiatan asuransi, jiwanya akan tenang dan tidak ada rasa takut ataupun was-was dalam menjalani kehidupan, karena ada pihak yang memberikan jaminan atau pertanggungan.
4. Reksadana syariah adalah wadah yang dipergunakan untuk menghimpun dana dari masyarakat pemodal untuk selanjutnya diinvestasikan dalam portofolio efek (saham, obligasi, valuta asing, atau deposito) oleh Manajer Investasi yang pengelolaan dan kebijakan investasinya mengacu pada syariat Islam.
5. Obligasi syariah merupakan suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan emiten kepada pemegang obligasi syariah yang mewajibkan emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariah berupa bagi hasil/margin/fee, serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo. Tentang obligasi syariah diatur dalam bab XXIV pasal 604 sampai dengan 607 KHES. Di samping itu ada pula obligasi syariah mudharabah yang diatur dalam bab XXI pasal 574 sampai dengan 579 KHES. Sumber hukum obligasi syariah dapat ditilik dalam Firman Allah Swt., dalam QS al-Maidah ayat 5.
6. Dana pensiun syariah
Sunduq mu’asyat taqa’udi atau dana pensiun syariah adalah badan usaha yang mengelola dan menjalankan program yang menjanjikan manfaat pension berdasar prinsip syariah (pasal 20 angka 39 KHES). Hal ini diatur dalam bab XXIX Pasal 626 sampai dengan 673 KHES.
6. Penutup
Hakim pada prinsipnya tidak semata-mata mencari dan menemukan kebenaran formil. Termasuk dalam perkara keperdataan, hakim harus mampu menggali kebenaran materiil. Sehingga putusan-putusan yang dihasilkan mengarah kepada pembaharuan penemuan hukum (rechtsvinding) yang dibentuk berdasar metode penafsiran dan konstruksi hukum. Sengketa ekonomi syariah adalah yurisdiksi baru bagi Peradilan Agama dengan perangkat hukum yang belum sempurna, sehingga menuntut hakim untuk menggali nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Perumusan putusan terhadap sengketa ekonomi syariah tidak bisa dilepaskan dari wawasan hukum perikatan Islam. Karena segala bentuk kegiatan usaha di bidang ekonomi syariah diawali dengan perjanjian dengan konsekuensi para pihak mematuhi dan mengikatkan diri terhadap isi perjanjian tersebut. Ini menjadi momentum yang baik bagi umat Islam untuk mengimplementasikan nilai-nilai ajaran Islam menyangkut hukum perikatan Islam. Ini penting mengingat sebelum terjadi amandemen UU No 7/1989, penegakkan hukum kontrak bisnis di lembaga-lembaga keuangan syariah banyak mengacu pada ketentuan KUH Perdata yang merupakan terjemahan dari Burgerlijk Wetboek (BW), Kitab Undang-Undang Hukum Sipil Belanda yang dikonkordansi
keberlakuannya di tanah Jajahan Hindia Belanda sejak tahun 1854, sehingga konsep perikatan Islam tidak berfungsi maksimal dalam praktek formalitas hukum dimasyarakat.

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Kadir Muhammad (1986), Hukum Perjanjian. Bandung: Alumni.
Abdurrahman (2008), Beberapa Catatan Sekitar Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah,
Dalam Buku Kenangan Berjudul Bagir Manan Ilmuwan dan Penegak Hukum (Kenangan Sebuah Pengabdian). Jakarta: Mahkamah Agung RI.
Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (2001), Fatwa Dewan Syariah Nasional No: 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah. Jakarta.
Muhammad Muslehuddin (1999). Insurance and Islamic Law, Penerj: Burhan Wirasubrata, Menggugat Asuransi Modern: mengajukan suatu alternatif baru dalam perspektif hukum Islam. Jakarta : Lentera.
Muhamad Nadratuzzaman Hosen dan AM Hasan Ali (2006), dalam makalahnya berjudul Kapita Selekta Asuransi Syariah: Telaah Umum Tentang Asuransi Syariah di Indonesia. Disampaikan dalam acara Seminar dan Lokakarya Mencari Format Ideal Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah diselenggarakan oleh Tim Penyusun Kompilasi Ekonomi Syariah Mahkamah Agung RI pada tanggal 20 November 2006 di Hotel Grand Alia Cikini.
Mustafa Ahmad Zarqa (1968), al-madkhal al-fiqh al-‘am. Beirut: Dar al-Fikr.
Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 2008 tentang Mediasi. www.badilag.net
Peraturan Mahkamah Agung RI No. 02 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah. www.badilag.net
Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. www.badilag.net
Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. www.badilag.net

Nama    : ANGGITA PRIHARTINI
NPM    : 20211901
Kelas     : 2EB08