2.
TINJAUAN PUSTAKA DAN PEMBAHASAN
2.1.
Kontrak
Kontrak
pada dasarnya merupakan undang-undang yang mengikat dan memiliki konsekuensi
hukum bagi para pihak. Oleh karenanya pembahasan berikutnya lebih tepat dengan
istilah hukum kontrak (Michael D. Bayles, 1987 dan Lawrence M. Friedman, 2001).
Friedman (2001) mengartikan hukum kontrak sebagai :
“
Perangkat hukum yang mengatur aspek tertentu dari pasar dan mengatur jenis perjanjian
tertentu”
Dari
pendapat dan definisi hukum kontrak di atas, maka definisi hukum kontrak adalah
sebagai berikut :
“
Keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan hukum antara dua
pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum “
Dengan
demikian, maka unsur-unsur yang tercantum dalam hukum kontrak adalah sebagai
berikut :
1.
Adanya Kaidah Hukum
Kaidah
dalam hukum kontrak dibagi menjadi 2 (dua) bagian : tertulis dan tidak
tertulis. Kontrak hukum kontrak tertulis adalah kontrak kaidah-kaidah hukum
yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan, traktat, dan
yurisprudensi. Sedangkan kaidah hukum kontrak tidak tertulis adalah kaidah-kaidah
hukum yang timbul, tumbuh, dan hidup dalam mesyarakat (konsep yang berasal dari
hukum adat).
2.
Adanya Subjek Hukum
Subjek
hukum dalam istilah lain adalah rechtsperson, yang diartikan sebagai
pendukung hak dan kewajiban. Yang menjadi subjek hukum dalam hukum kontrak
adalah kreditur dan debitur. Kreditur adalah orang yang berpiutang, sedangkan
debitur adalah orang yang berutang.
3.
Adanya Prestasi ( Objek Hukum )
Prestasi
merupakan hak kreditur dan menjadi kewajiban bagi debitur. Prestasi menurut Pasal
1234 KUH Perdata terdiri dari 4 (empat) hal :
a.
memberikan sesuatu
b.
berbuat sesuatu, dan
c.
tidak berbuat sesuatu
4.
Kata Sepakat
Di
dalam Pasal 1320 KUH Perdata ditentukan 4 (empat) syarat sahnya suatu
perjanjian. Salah satunya adalah kata sepakat (konsensus). Kesepakatan adalah
persesuaian pernyataan kehendak antara para pihak.
5.
Akibat Hukum
Setiap
perjanjian yang dibuat oleh para pihak, akan menimbulkan akibat hukum. Akibat hukum
adalah timbulnya hak dan kewajiban. Hak adalah suatu kenikmatan dan kewajiban adalah
suatu beban.
2.2.
Asas Kebebasan Berkontrak (Contractvrijheid Beginselen)
Asas-asas
perjanjian sangat perlu untuk dikaji lebih dahulu sebelum memahami berbagai
ketentuan undang-undang mengenai sahnya suatu perjanjian. Suatu perkembangan yang
terjadi terhadap suatu ketentuan undang-undang akan lebih mudah dipahami
setelah mengetahui asas-asas yang bersangkutan. Terdapat 5 (lima) asas penting
dalam suatu perjanjian, yaitu :
1.
Asas Kebebasan Berkontrak, sebagaimana hasil analisis Pasal 1338 ayat
(1) KUH Perdata, yang berbunyi : “Semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang- undang bagi mereka yang membuatnya”. Asas Kebebasan
Berkontrak ini memberikan kebebasan kepada para pihak untuk :
a.
membuat atau tidak membuat perjanjian
b.
mengadakan perjanjian dengan siapapun
c.
menentukan isi perjanjian dengan siapapun
d.
menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.
2.
Asas Konsensualisme, sebagaimana dalam Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata.
Dalam pasal ini ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian, yaitu
adanya kesepakatan kedua belah pihak. Asas konsensualisme pada umumnya tidak
diadakan secara formal, tetapi cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah
pihak.
3.
Asas Pacta Sunt Servanda, merupakan asas kepastian hukum sebagai akibat
perjanjian.
Asas
ini dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi :
“Perjanjian
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang” Selain
itu pada asas ini juga dikatakan bahwa pihak lain (hakim atau pihak ketiga)
harus menghormati dan tidak boleh mengintervensi substansi kontrak yang dibuat
para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang.
4.
Asas Itikat Baik (Goede Trouw)
Asas
ini dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang berbunyi :
“Perjanjian
harus dilaksanakan dengan itikat baik”. Asas itikat baik ini
merupakan asas para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan
substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau
kemauan yang baik dari para pihak. Asas itikat baik ini dibagi 2 (dua) : itikat
baik nisbi, dimana orang memperhatikan tingkah laku nyata orang atau
subjek. Sedangkan itikat baik mutlak, penilaiannnya terletak pada akal
sehat dan keadilan, dan penilaian keadaan yang dibuat dengan ukuran objektif (penilaian
yang tidak memihak) menurut norma-norma yang objektif.
5.
Asas Kepribadian (Personalitas)
Asas
ini merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang akan melakukan dan atau membuat
kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja, sebagaimana dalam Pasal 1315
KUH Perdata yang berbunyi : “Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan
atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri”, dan Pasal 1340 KUH Perdata
yang menyatakan bahwa : “Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang
membuatnya”. Namun ketentuan ini ada pengecualiannya sebagaimana yang
diintrodusir dalam Pasal 1317 KUH Perdata, yang menyatakan : “Dapat pula
perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang
dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung
suatu syarat semacam itu”. Pasal ini mengkonstruksikan bahwa seseorang
dapat mengadakan perjanjian untuk kepentingan pihak ketiga. Sedangkan dalam Pasal
1318 KUH Perdata, tidak hanya mengatur perjanjian untuk diri sendiri, tetapi
juga untuk kepentingan ahli warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh hak
dari padanya.
2.3.
Penyalahgunaan Keadaan (Misbruik van Omstandigheden)
Terbentuknya
aliran Penyalahgunaan Keadaan disebabkan karena pada waktu itu belum ada ketentuan
Burgerlijk Wetboek Belanda yang mengatur hal itu. Sebagai contoh, sering
terjadi seorang hakim sering menemukan adanya keadaan yang bertentangan dengan kebiasaan,
sehingga sering pula mengakibatkan putusan hakim yang membatalkan suatu perjanjian,
baik sebagian atau keseluruhan. Dalam kenyataannya putusan hakim tersebut tidaklah
berdasarkan pertimbangan salah satu alasan pembatalan perjanjian yaitu cacat kehendak
klasik (Pasal 1321 KUH Perdata), yaitu : (1) kesesatan (dwaling), (2)
paksaan (dwang), (3) penipuan (berdog). Prof. Mr. J.M. van Dunné
dan Prof. Mr. Gr. Van den Burght (1987) dalam sebuah Diktat Kursus Hukum
Perikatan Bagian III yang diterjemahkan Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, SH.,
menanggapi beberapa pendapat para ahli hukum menyatakan bahwa :
“
Pada Penyalahgunaan Keadaan tidaklah semata-mata berhubungan dengan isi perjanjian,
tetapi berhubungan dengan apa yang telah terjadi pada saat lahirnya perjanjian,
yaitu penyalahgunaan keadaan yang menyebabkan pernyataan kehendak dan dengan
sendirinya persetujuan satu pihak tanpa cacat”
Dari
uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa penyalahgunaan keadaan lebih tepat mempengaruhi
syarat-syarat subjektif dari pada syarat objektif. Sebagaimana diketahui bahwa menurut
Pasal 1320 KUH Perdata, untuk sahnya suatu perjanjian harus memenuhi 4 (empat) syarat
:
1).
Harus ada kesepakatan
2).
Harus ada kecakapan
3).
Harus ada pokok persoalan (hal tertentu)
4).
Tidak merupakan sebab yang dilarang
Dua
syarat pertama merupakan syarat subjektif karena menyangkut subjek yang
mengadakan perjanjian, sedang dua syarat terakhir merupakan syarat objektif.
Lebih
lanjut Van Dunné menjelaskan bahwa selain 2 (dua) syarat subjektif tersebut di atas,
penyalahgunaan keadaan juga dikarenakan 2 (dua) hal :
1.
Karena keunggulan ekonomi, yang menyebabkan salah satu pihak terpaksa
mengadakan perjanjian.
2.
Karena keunggulan kejiwaan, salah satu pihak menyalahgunakan ketergantungan
relatif (seperti hubungan kepercayaan : orang tua – anak, suami – istri, dokter
– pasien, termasuk antara pengguna jasa / pimpinan proyek / bagian proyek / user
– penyedia jasa / konsultan / kontraktor, dan sebagainya ). Disamping salah
satu pihak menggunakan penyalahgunaan keadaan jiwa yang istimewa dari pihak
lawan (gangguan jiwa, tidak berpengalaman, gegabah, kurang pengetahuan, kondisi
badan yang kurang baik, dan sebagainya).
2.4.
Jasa Konstruksi
Segala
sesuatu yang berkaitan dengan jasa konstruksi telah diatur dalam UU Nomor 18
Tahun 1999 beserta PP Nomor 28, 29, dan 30 Tahun 2000 serta peraturan perundang-undangan
lain yang berkaitan. Sebagaimana diketahui bahwa UU Nomor 18 Tahun 1999 ini menganut
asas kejujuran dan keadilan, asas manfaat, asas keserasian, asas keseimbangan,
asas keterbukaan, asas kemitraan, keamanan dan keselamatan demi kepentingan
masyarakat, bangsa, dan negara (Pasal 2 UU Nomor 18 Tahun 1999). Sedangkan
pengaturan jasa konstruksi bertujuan untuk :
1).
Memberikan arah pertumbuhan dan perkembangan jasa konstruksi untuk mewujudkan struktur
usaha yang kokoh, andal, berdaya saing tinggi, dan hasil pekerjaan konstruksi yang
berkualitas.
2).
Mewujudkan tertib penyelenggaraan pekerjaan konstruksi yang menjamin kesetaraan
kedudukan antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam hak dan kewajiban, serta
meningkatkan kepatuhan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku,
3).
Mewujudkan peningkatan peran masyarakat di bidang jasa konstruksi.
Bagi
profesional teknik, yang perlu menjadi perhatian adalah beberapa bagian yang
sangat
terkait dengan pekerjaan profesinya, antara lain :
1. Jenis
Usaha Jasa Konstruksi
2. Bidang
Usaha Jasa Konstruksi
Bidang
usaha jasa konstruksi mencakup pekerjaan :
(a) Arsitektural
dan/ atau
(b) Sipil
dan/atau
(c) Mekanikal
dan/atau
(d) Elektrikal
dan/atau
(e) Tata
Lingkungan masing-masing beserta kelengkapannya Dalam melaksanakan
pekerjaan
profesinya
3. Tanggung
Jawab Profesional
4. Tanggung
Jawab Profesional secara Perdata dan Pidana
3.
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1.
Kesimpulan
1.
Dalam pelaksanaan perjanjian jasa konstruksi khususnya pada tahapan precontractual,
masing-masing pihak (pengguna dan penyedia jasa konstruksi) harus mengadakan
kesepakatan dengan menghindari pelanggaran terhadap ketentuan asas kebebasan
berkontrak (contractvrijheid) dan penyalahgunaan keadaan (misbruik
van omstandigheden) sebagaimana ketentuan yang berlaku.
2.
Sanksi bagi pengguna jasa dan penyedia jasa dapat dikenai sanksi administratif,
sanksi perdata, maupun sanksi pidana apabila melakukan pelanggaran sesuai ketentuan
UU Nomor 18 Tahun 1999 dan PP Nomor 29 Tahun 2000
3.
Penyelesaian sengketa jasa konstruksi sebagai akibat pelanggaran dan sanksi
yang diberlakukan belum dibahas dalam tulisan ini.
3.2.
Saran
1.
Walaupun sudah disosialisasi dan diberlakukan, UU Nomor 18 Tahun 1999, PP Nomor
28, 29, 30 serta peraturan perundang-undangan lainnya masih belum banyak yang
mengetahui khususnya masyarakat jasa konstruksi sendiri. Untuk itu perlu kesungguhan
baik Pemerintah, Asosiasi Profesi, Profesional Perorangan, Pakar dan Perguruan
Tinggi dan pihak-pihak yang terkait bekerja sama untuk meningkatkan intensitas
pemahaman peraturan perundang-undang ini, sehingga dicapai peningkatana
kualitas SDM yang profesional.
2.
Untuk menjamin ketertiban dan kepastian hukum dalam masyarakat, perlu
diterapkan sanksi yang tegas dalam action karena dalam proyek konstruksi
banyak dijumpai peluang pelanggaran mulai dari precontrancual dan postcontractual
hingga pelaksanaan fisik pekerjaan konstruksi.
3.
Penyelesaian sengketa jasa konstruksi perlu dibahas juga sebagai alternatif penyelesaian
sengketa kasus-kasus konstruksi.
DAFTAR
PUSTAKA
1.
Buku-buku
Badrulzaman,
Mariam Darus, 1993, KUH Perdata, Buku III, Hukum Perikatan dengan Penjelasannya,
Penerbit Alumni, Bandung.
Bayles,
Michael D., 1987, Principles of Law A Normatif Analysis, Holland :
Riding Publishing Company Dordrecht. Dunné, Van dan Van der Burght, 1987, Hukum
Perjanjian (terjemahan Lely Niwan), Dewan Kerjasama Ilmu Hukum Belanda
dengan Indonesia Proyek hukum Perdata, Jogjakarta.
Friedman,
Lawrence M (2001), American Law An Introduction (terjemahan Whisnu
Basuki),
Penerbit
Tata Nusa, Jakarta. Mertokusumo, Sudikno, 1988, Mengenal Hukum, Penerbit
Liberty, Yogyakarta.
Panggabean,
H.P., 2001, Penyalahgunaan Keadaan (Misbruik van Omstandigheden) Sebagai
Alasan
(Baru) untuk Pembatalan Perjanjian (Berbagai Perkembangan Hukum di Negeri Belanda),
Cetakan Pertama, Penerbit Liberty, Jogjakarta.
Poerdyatmono,
B., 2003, Sengketa Pelaksanaan Kontrak Kerja Konsultan Pengawas Konstruksi,
Skripsi S-1 Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sunan Giri Surabaya (tidak
dipublikasikan).
Salim,
H.S., 2004, Hukum Kontrak : Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Cetakan Kedua,
Penerbit
Sinar Grafika, Jakarta.
Suharnoko,
2004, Hukum Perjanjian : Teori dan Analisa Kasus, Cetakan Pertama,
Penerbit
Predana
Media, Jakarta.
Wijaya,
G. dan Mulyadi, K., 2003, Hapusnya Perikatan, Edisi I, Cetakan I,
Penerbit PT
RajaGrafindo
Persada, Jakarta.
2.
Landasan Hukum
Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi
Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2000 tentang Usaha dan Peran
Masyarakat
Jasa Konstruksi
Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan
Jasa
Konstruksi
Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan
Pembinaan
Jasa Konstruksi
Keputusan
Presiden Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan
Pengadaan
Barang / Jasa Pemerintah
Subekti
dan Tjitrosudibio (1999), Kitab Undang-undang Hukum Perdata (terjemahan
dari
Burgerlijk
Wetboek), Cetakan ketigapuluh, Penerbit Pradnya Paramita,
Jakarta.
RIWAYAT
PENULIS
Ir.
Bambang Poerdyatmono, S.H.,M.T., adalah Dosen Jurusan
Teknik Sipil Fakultas
Teknik
Universitas Madura – Pamekasan, kini sedang menyelesaikan studi S-2 Magister
Ilmu Hukum di Unisma - Malang
Nama : ANGGITA PRIHARTINI
NPM : 20211901
Kelas : 2EB08
Sumber : www.kppu.go.id